Jumat, 30 November 2007

Sawoek : Pembangkit Inspirasi Korban Tsunami.

Sawoek :
Pembangkit Inspirasi Korban Tsunami.

Setelah bencana gempa dan tsunami tahun 2004 lalu, kebimbangan para korban dinilai sangat wajar. Saat itu mereka kehilangan tempat tinggal, keluarga dan juga harus mengungsi di bawah Tenda-tenda darurat. Anak-anak yang selamat dari bencana banyak yang tidak dapat berkumpul bersama keluarga.

Di bawah tenda mereka di beri bantuan makanan dan obat obatan oleh Pemerintah dan NGO baik Local maupun International. Bantuan dari masyarakat dunia terus mengalir. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi pun berjalan dengan cepat dan lancar.

Namun hingga sebulan bencana, belum ada inisiatif dari pemerintah dan NGO untuk memberikan pemberdayaan ekonomi untuk mereka, masyarakat korban bencana terus saja dimanjakan dengan segala bantuan. Padahal itu yang menjadi persoalan saat itu adalah bagaimana para korban dapat terus menjalani kehidupan mereka dan dapat menghidupi keluarga yang masih tersisa.

Aktivis Nindja serta relawan mahasiswa dari Universitas Shopia Tokyo Jepang dan di bantu staf dari lembaga Jaringan Perempuan Untuk Keadilan (Jari Aceh) menganggap serius persoalan ini, karena dapur harus tetap ngepul, anak harus terus sekolah sebab sekolah akan berdampak pada kelangsungan hidup mereka di masa depan. Pemerintah daerah juga telah meng-aktifkan kembali sekolah, walau di tempat darurat.

Anak anak yang masih lugu itu tetap menjalankan kebiasaan sebelum bencana terjadi. Setiap pagi mereka pergi ke sekolah. Dan tiap pagi pula para orangtua harus memberikan sedikit uang untuk jajan anak-anak mereka. Di Tenda darurat pun mereka melakonkan itu sebagaimana biasa. Namun bencana tsunami telah meluluhlantahkan sumber ekonomi masyarakat, sehingga setiap keluarga tidak memiliki penghasilan lagi selain berharap pembagian beras dari posko penanganan pengungsi.

Pada diri pengungsi setelah bencana belum ada cara untuk bangkit kembali. Semua sector kehidupan di lihat hámbar. Persoalan jajan anak-anak saja tidak sanggup lagi di penuhí. Dari satu tenda ke tenda yang lain di desa Geudong kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara, semua memiliki persoalan yang sama.

Walau satu desa dengan desa lainnya tidak mempunyai kesamaan geografis, namun di setiap camp pengungsi didapati persoalan yang sama yakni persoalan ekonomi seperti juga di kecamatan Tanah Pasir dan juga Seunuddon. Sementara semua NGO hanya berlomba memberikan makanan instan kepada pengungsi. Dan pengungsi terpaku di kamp menunggu truk bantuan datang.

,’ Pekerjaan kami pertama setelah tsunami yaitu menyawoek, bertepatan dengan banyak udang sabue, lumayan bisa untuk jajan,’ Ujar Walidin seorang korban Tsunami di desa Sawang Kecamatan Samudera Aceh Utara.

Begitu juga dengan Idris warga desa Blang Nibong kecamatan setempat. Tsunami tiga tahun lalu, membuat rumah papan dua kamar miliknya tersapu air bah. ,”Kami yang miskin sering menyawoek, untuk pendapatan sehari-hari,” Kata Idris.

Sawoek adalah jaring penangkap udang yang digunakan nelayan tradicional di pesisir pantai. Ada dua jenis sawoek yaitu Sawoek Sabe dan Sawoek sirang. Sawoek Sabe untuk udang sabu (ebi) sedangkan Sawoek Sirang untuk udang besar. Sawoek tidak memerlukan bahan bakar minyak, cukup didorong oleh nelayan dengan berenang atau berjalan di pinggir laut.

Aktivis Lsm Nindja, Relawan Shopia begitu juga dengan lembaga mitra melihat Sawoek menjadi awal membangun gairah para korban yang terpuruk pasca tsunami. Itulah bantuan pertama Nindja dalam merespon bencana tsunami selain berkampanye lainnya. Sebagai partisipasi, penerima bantuan di berikan keluasaan untuk membuat sendiri, dengan cara itu para nelayan mendapatkan sedikit uang jajan, sebelum sawoek siap di gunakan.

Perubahannnya sangat jelas, pasca nelayan menerima Sawoek, kamp pengungsiaan pada pagi hari kosong. Karena mereka sedang memburu udang di pinggir pantai yang beberapa waktu sempat di tinggalkan karena bencana.

Jam 12 siang sudah kembali ke kamp pengungsiaan. ”Paling sedikit 5 ribu pasti dapat, setiap kita menyawoek, untuk jajan anak-anak sudah ada” Ujar Idris yang memang memiliki skil menya-woek untuk kelas desanda, waktu itu.

Menjelang tiga tahun tsunami, berbagai bantuan datang, pembangunan rumah dan pemberian modal usaha lainnya, namun modal usaha yang selama ini di berikan NGO dan Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh (BRR) minus dari keberhasilan.

”Banyak bantuan tidak sesuai kebutuhan, ya warga sudah di tawarkan ya mau, apalagi tidak usah bayar,” Ujar seorang korban tsunami yang lain.

Tentunya banyak dampak buruk dari kelakuan segelintir NGO dan Badan lain yang terlibat dalam Rehabilitasi Rekontruksi Aceh. Pemaksaan agar program dapat berjalan sesuai rencana, memaksakan rasa tangung jawab terhadap keberhasilan dari program itu sendiri ter-abaikan. Sehingga berdampak pada kerusakan social masyarakat.

Namun beruntung bantuan Sawoek yang sumber dananya dari masyarakat Jepang yang disalurkan lewat NGO Nindja hingga saat ini masih merayap di pinggiran pantai kecamatan Samudera. Tentunya telah banyak menolong kehidupan warga, dan Sawoek adalah inspirasi pertama korban, setelah bencana tsunami. (***/B@IM)

Aksi Solidaritas

Aliansi Sipil
Desak Pemerintah Aceh Selesaikan Kasus PT BUMI FLORA

Lhokseumawe —Gabungan 31 lembaga swadaya masyarakat termasuk Jari Aceh dan organisasi mahasiswa di Lhokseumawe, Bireuen, dan Aceh Utara, Kamis (22/11) mendesak pemerintah Aceh untuk ambil bagian menyelesaikan kasus penetapan delapan aktivis lembaga bantuan hukum Banda Aceh sebagai tersangka/terdakwa oleh kepolisian Langsa. Karena mereka bukan pelaku criminal, tapi sedang dalam membela hak rakyat atas tanah mereka yang di serobot PT. Bumi Flora.

Juru Bicara Aliansi, Marzuki, mengatakan penetapan status delapan aktivis LBH yang diserahkan kasusnya ke kejaksaan negeri Langsa pada hari ini (Kamis (22/11) adalah, upaya pengalihan isu oleh aparat penegak hukum, dari kasus perampasan tanah rakyat oleh PT Bumi Flora, ke tindakan kriminal.

”Jadi, persoalan ini bukanlah kasus criminal, tetapi persoalan ini adalah persoalan tanah rakyat, dan staf LBH sedang membantu rakyat menyelesaikan persengketaan ini,” Tegas Marzuki

Upaya-upaya yang sedang di jalankan oleh kepolisian Kota Langsa yang menjadikan dasar penangkapan yang kemudian di tetapkan sebagai tersangka, tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Dimana seharusnya, aparat penegak hukum menjadikan persengketaan tanah antara warga dengan PT. Bumi Flora di empat (4) kecamatan, kabupaten Aceh Timur sebagai prioritas pengusutannya.

”Bukan malah menangkap para aktivis yang sedang membantu masyarakat korban tersebut, ini yang aneh,” Katanya.

Kordinator LBH Banda Aceh Pos Lhokseumawe, Zulfikar, SH, juga melihat keanehan atas pelimpahan kasus para staf LBH ke pihak kejaksaan negeri Langsa, karena kerja-kerja LBH murni merupakan kerja advokasi yang memang selalu dilakukan dalam memberikan bantuan hukum dan pendidikan hukum kepada masyarakat yang dilanggar hak-hak dasar nya sebagai mana di atur dalam peraturan perundang-undangan dan intrumen hak asasi manusia.

Seharusnya, aparat penegak hukum memberikan prioritas terhadap penyelesaian kasus perampasan tanah. Yang sampai sekarang belum ada upaya dari aparat penegak hukum untuk menyelesaikan secara jelas.

Untuk Itu, Aliansi masyarakat sipil peduli keadilan (AMSPK) Lhokseumawe, bersikap, persoalan antara warga dan PT Bumi Flora dalam kasus penyerobatan tanah, tidak akan selesai bila pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur, Kapolda dan DPRA tidak berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan ini.

Selain itu, Aliansi juga melihat bila pemerintah Aceh tidak ikut ambil bagian dalam penyelesaiannya, bukan tidak mungkin masyarakat akan melihat bahwa pemerintahan baru di Aceh pasca MoU, juga tidak memihak kepada masyarakat korban. ,” Bisa jadi mereka menuntut sekarang, karena masyarakat menganggap pemerintahan, mungkin memihak kepada mereka, tetapi jika kenyataannya tidak ada yang merespon, bagaimana?”

Para staf LBH di tangkap polisi pada tanggal 2 Juli, sedang menyebarkan selebaran, untuk keperluan Aksi pada 3 Juli 2007 lalu. Pada aksi tersebut 3000 masyarakat dari kecamatan Idi Tunong, Banda Alam, Darul Ihsan, dan Peudawa turun ke jalan di Langsa untuk menuntut hak atas tanah mereka.

Tanah ini adalah milik 750 warga petani penggarap lahan dengan luas 1.847 Hektar, yang tersebar di sembilan desa di empat Kecamatan Idi Tunong, Banda Alam, Darul Ihsan, dan Peudawa Kabupaten Aceh Timur. 98 Hektar tanah wakaf/ Mesjid.

Hingga saat ini PT Bumi Flora, sudah mengklaim tanah masyarakat dan tanah Mesjid sebagai areal perkebunan PT. Bumi Flora. Untuk di ketahui, proses penyerobotan ini terjadi pada masa Operasi Jaring Merah (DOM) tahun 1990. Pada tahun 1991, 3 warga tewas dibunuh karena tidak rela melepaskan hak atas tanahnya.
***)


Lembaga –lembaga yang berkantor di Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara yang ikut Terlibat :

GaSAK BIREUEN - JARI ACEH - LBH POS LHOKSEUMAWE - YAYASAN KEUMALA - KOBAR GB BIREUEN - PRA LHOKSEUMAWE - PB HAM ACEH UTARA – LPLHa - HMI BIREUEN - PERSAUDARAAN ACEH BIREUEN – RPUK - SPKP HAM ACEH UTARA - BEM FH UNIMAL-PRA ACEH UTARA – LIMID - KMPD BIREUEN - KOBAR GB ACEH UTARA - LBH APIK - BEM AL-MUSLIM – SIMAK - MaTA ACEH - JINGKI INSTITUTE - RATA ACEH BIREUEN- PEREMPUAN MERDEKA - LS PENA – FORMASIUM – SAHARA – LiiRA – PASKA - ISMAHI KorWil Aceh- SuDA (Student Union For Demokracy Of Acehnese)